Khamis, 5 Januari 2017

Jejak Melayu Timur di Reteh oleh Mosthamir Talib

Tags


Jejak Melayu Timur di Reteh
Tung Tong Kelintang
Kuala Patah Parang
Oleh: Mosthamir Thalib
Sesaat tiba, Nek Ude Majene, wanita berusia 78, langsung duduk di depan perangkat kelintang tua dan serta-merta menalu-nalu cembul besi itu satu per satu, tong-tung.. tong tung... “Yang satu ini sumbang,” katanya seraya mengarahkan mukanya pada satu cembul kulintang yang sudah berlubang. Padahal telinganya sudah tidak begitu mendengar lagi.
PERMAINAN kelintang tua tujuh nada peninggalan sebelum zaman Panglima Reteh Tengku Sulung (1858 M) ini dimainkan Nek Majene bersama wanita-wanita tua lainnya di Kuala Patah Parang, Indragiri Hilir (Inhil), di depan Tim Pencari Jejak Melayu Timur Iranun – di sini disebut Melayu Timur, yang datang dari Kota Belut, Sabah, Malaysia, yang zaman kerajaan Melayu dulu disebut Tempasuk. Alat-alat musik tradisional ini sendiri merupakan barang-barang lama yang dibawa dari negeri puak orang Mindanao (1787).
Tim yang terdiri dari Ketua Mahkamah Anak Negeri Sabah OKK (Orang Kaya-Kaya) Haji Masrin Haji Hassin, Abd Naddin Shaiddin dan Madin Sumalah setiba di Riau (12/11) dari Kuala Lumpur langsung dijamu Bupati Inhil HM Wardan yang berada di Pekanbaru. “Saya juga punya darah keturunan Melayu Timur. Dari sebelah nenek saya,” ujar putra Indragiri Selatan itu dalam pertemuan tersebut.
Bersama Kepala Dispora Budpar Inhil Junaidi dan didampingi dua seniman budayawan Riau Kazzaini Ks dan Mosthamir Thalib, langsung pula meneruskan perjalanan ke Tembilahan pada hari itu juga. Di Inhil pula, tim disambut oleh Ketua MKA LAM Inhil, Datuk Syamsuri Latif, di Wisma Pancang Jermal Parit 10 Tembilahan.
“Alhamdulillah.. Misi ini sangat memuaskan,” kata Haji Masrin Haji Hassin. Kepuasannya itu diungkapkannya sehalaman penuh pada Harian Borneo Pos yang terbit (20/11) di Sabah, Malaysia Timur, bertajuk Misi Mencari Iranun di Reteh Berhasil. Dia menyatakan rasa syukur yang dalam. “Banyak sekali maklumat dari temuan dan dari pertemuan demi pertemuan di Indragiri.”
Kampilan
Sebelum ke Kuala Patah Parang – sebuah desa di Kecamatan Enok yang penduduknya mayoritas Melayu Timur, tim ini juga sempat mengunjungi Pulau Kijang, Kecamatan Reteh. Bertemu dengan sejumlah tokoh Melayu Timur, antaranya Oteh Majemuk dari Sungai Undan, yang juga merupakan Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau Kecamatan Reteh, Inhil, di Pulau Kijang.
Tokoh-tokoh yang berkumpul di rumah Marjuni, seorang warga keturunan Melayu Timur, sekitar 20-an orang. Mereka membawa sejumlah bukti barang pusaka warisan Melayu Timur, termasuk peralatan adat yang selalu digunakan orang Melayu Timur. Barang-barang pusaka itu antaranya berupa senjata kampilan – senjata khas Melayu Timur, skin, dan sundang.
“Ini sah peralatan perang orang Iranun,” kata Naddin, seraya memegang sebilah kampilan.
Kampilan serupa pedang. Panjang kampilan yang diperlihatkan beragam, antara 60 cm sampai 80 cm. Bagian atas ujungnya sedikit bercabang seperti pial atau jeger kepala ayam. Ulunya berukir kepala naga dengan umbai-umbai rambut atau bulu binatang.
Selain senjata tajam, di Pulau Kijang ini, seorang keturunan Melayu Timur, Ahmad Mustafa dari Kotabaru, memperlihatkan bisluit (SK) Raja Kerajaan Riau-Lingga, pengangkatan Tengku Ismail, sebagai penguasa Reteh.
Selepas Pulau Kijang Kecamatan Reteh, yang bersempadan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, dengan speed boat, tim berbalik arah balik ke Tembilahan dan singgah di Kuala Patah Parang. Inilah tempat tujuan lebih khusus itu. Sebuah desa yang penduduknya mayoritas suku Melayu Timur. Selain di Kuala Patah Parang Luar – sebagai nelayan - ini, komunitas Melayu Timur juga berdomisili di Kuala Parat Parah Dalam, berkebun.
Setelah salat Asyar di masjid di hilir Kuala Patah Parang yang banyak Suku Laut (Duanu) berdomisili, tim beranjak ke hulu. Menambatkan speed boat di sebuah ujung pelantar jerambah kayu. Di beberapa tempat di hamparan jerambah itu tampak beberapa hasil tangkapan dari laut dijemur untuk dikeringkan. Udang dan ikan. Selain itu tampak juga belacan, yang memerah dijemur di panas “hari”, hasil olahan penduduk setempat.
Di sini tim diterima imam surau Muhammad Ali Sapar – yang biasa dipanggil orang kampung dengan Cik Li. Masih muda. Tim diterima masuk di sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah panggung bertongkat kayu seadanya di atas dataran lumpur yang agak tinggi dari pantai lumpur. Berdinding papan-papan lama. Nyaris tidak ada daun tingkap. Sehingga angin laut pesisir pantai timur Sumatera bebas bertiup keluar-masuk.
Di rumah berukuran sekitar 4 x 6 meter itu tim duduk bersila di lantai bersama tuan rumah dan orang yang paling dituakan, Nurdin bin Syahjohan atau Long No (75) – sapaan orang-orang kampung padanya. Ketokohannya malah sampai di sekitar kawasan Indragiri Hilir bagian Selatan lainnya. Dalam sekejab saja, sudah ramai orang-orang berhimpun di dalam rumah Cik Li.
Long No segera menyuruh beberapa orang mengambil alat-alat musik kelintang peninggalan pengikut Raja Ismail yang dibawa dari Tempasuk pada tahun 1787. Satu perangkat kelintang tujuh nada dengan tiga gendang. Nek Majene yang lebih dulu datang langsung mengambil posisi di depan kelintang tua. Meminta kayu penalu pada tuan rumah, dan langsung memukul-mukul cembul-cembul kulintang itu.
Tidak lama berselang muncul pula beberapa wanita tua lainnya, pemain grup kelintang ini. Siti Aminah binti Hamid, berusia 70-an - memainkan gendang, Semah binti Ketik - usia 90-an, juga memainkan gendang lainnya, dibantu Cik Li atau Muhammadi Ali Sapar yang menalu gong. Madin Sumalah pun ikut bermain, memainkan gendang yang paling besar.
Ada beberapa lagu khas musik tradisional kelintang yang dibawa dari negeri leluhurnya ini. Antaranya Serama, Andok-andok, Kudidi – yang terakhir di Indragiri menjadi Kedidi – nama burung. Menurut Sulaiman Merawi, seorang pemuda sana, ada sekitar belasan rentak kelintang yang ada di Patah Parang dan sekitarnya antaranya Anduk-anduk, Anduk-anduk Selor, Kedidi, Kedincing, Serame, Serame 2, Serame 3, Serame Jawa, Serama Angin, Cak Pumpung, Gubang Gubang, Gubang Gubang Kayoh, Kisak-kisak, Janda Ngagek Terong, Kedungkok, Tepai Begelot. Sendayung “Semua jenis rentak tersebut orang tetua yang pandai memainkannya,” kata Sulaiman.
Tidak ada regenerasi. Itulah yang terungkap dari penelusuran jejak Iranun ini, khususnya pada permainan kelintang. “Ini yang membuat kita sedih. Generasi muda tak ramai lagi yang tahu. Sementara Nek Uda Jena sudah 78 tahun. Kelintang itu pula, itulah satu-satunya. Sesuatu perlu dibuat untuk menyelematkan kesenian ini yang hampir pupus sebelum ia tenggelam dan dihanyutkan oleh sungai sejarah,” ujar Naddin
Itu pulalah sebab Sulaiman yang kini merantau ke Karimun berharap, kunjungan dari Sabah Malaysia ini bisa membangkitkan dan membakar semangat kaum muda untuk mempelajarinya. “Apalagi bila dapat sokongan pemerintah,” tambahnya. Kunjungan ke Pulau Kijang dan Kuala Patah Parang ini memang disertai pendamping dari Dinas Pariwisata Inhil, Raja Indra Maulana dan Haji Ahmady.
Pembakar Semangat
Menurut catatan di Tuhfat Al Nafis, dulu Raja Ismail datang ke kawasan Riau-Johor dengan sekitar 40 perahu penjajab. Dengan jumlah pasukan seluruhnya sekitar 1000 orang. Setiap penjajab dilengkapi seperangkat alat kelintang. Selalu dimainkan ketika angin tenang dan para prajurit mengayuh-ngayuh kapal penjajabnya. “Jadi fungsinya seperti alat pembakar semangat para prajurit,” kata Naddin.
Ketika berlayar menuju ke Kerajaan Riau-Lingga, menurut Naddin, kelintang yang dibawa sekitar 30 sampai 40 buah, sama dengan jumlah penjajabnya. Sekarang yang baru ditemukan sekitar lima buah. Dua di Patah Parang Dalam dan Patah Parang Luar. Dua di Reteh. Satu buah yang berasal dari Reteh dibawa ke Tanjung Uban, Kepulauan Riau. “Jadi masih ada sekitar 15 sampai 20 buah belum diketahui di mana keberadaannya.”
Selain kelintang, di Kuala Patah parang juga ditemui peralatan senjata tajam, seperti kampilan. Yang lainnya adalah pemanai, yaitu sejenis selayar atau umbul-umbul warna merah putih yang biasa digunakan untuk perhelatan pesta pernikahan. Beberapa kosakata Melayu Iranun pun masih dipakai, baik di Pulau Kijang maupun di Kuala Patah Parang. Seperti kata tunung (menyelap), betapok (berdiam), degan (banjir), dan sejumlah kata lainnya.
Di Inhil dan sekitarnya, komunitas orang-orang yang datang dari Tempasuk ini disebut Melayu Timur. Mereka tidak disebut “suku lanun” karena kesannya negatif. Suka merompak di laut. Nama Melayu Timur terkesan lebih memberikan kharisma. Ketika diminta tanggapan oleh Naddin, apa yang dimaksud “timur” di ujung kata Melayu itu, di antara mereka ada yang beranggapan mereka datang dari Pulau Penyengat – pusat kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang. “Karena Pulau Penyengat berada di Timur,” kata Ahmad Mustafa, keturunan Melayu Timur yang berdomisili di Kotabaru Keritang.
Abd Naddin menjelaskan, orang-orang Melayu Timur di Reteh dan Kuala Patah Parang memang suku yang sama dengan mereka, Yaitu, suku Iranun. “Bukan Lanun. Lanun itu penjajah yang memberi nama dan memberikan nilai negatif pada nama itu. Irranum itu maknanya kasih-sayang.”
Para Iranun yang ada di Indragiri sampai ke kawasan Jambi adalah pasukan perang yang datang bersama Raja Ismail dari Kerajaan Tempasuk, Sabah, tahun 1787. Mereka datang ke kawasan ini atas permintaan Sultan Johor, Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmudsyah III, untuk menyerang Belanda di Tanjungpinang, yang mendudukkan residennya di sana. Dalam peperangan ini Raja Ismail bersama Sultan Mahmud Riayat Syah berhasil mengalahkan Belanda dan menghalau Rasiden Belanda, David Ruhde, dari Tanjungpinang pada 13 Mei 1787, dengan pakaian sehelai sepinggang.
Setelah perang, sebagian pengikut Raja Ismail ini pulang ke Tempasuk dan sebagian lainnya tetap tinggal di kawasan Kerajaan Riau-Lingga. Membuka negeri baru di Sungai Reteh. Negeri pertama yang dibuka Kotabaru Reteh. Kemudian Pulau Kijang, Benteng, dan Kuala Patah Parang. Menurut sumber di Pulau Kijang ini, Tengku Ismail yang membuka Kotabaru mempunyai keturunan Tuk Muda Tahir, Tuk Yakup, dan Tuk Naini. Nama yang terakhir ini, Tuk Naini, yang membuka negeri Pulau Kijang. Sedangkan Negeri Benteng dibuka oleh Tengku Sulung semasa perang melawan Belanda.
Nama besar lain selain Raja Ismail dan Tengku Sulung dari kalangan Melayu Timur ini adalah Syahbuddin. Buyutnya Long No atau Nurdin. Malah orang tua yang terlihat masih segar walau usia sudah 75 tahunan ini dapat meruntut silsilahnya dari bawah sampai ke atas, mulai darinya sendiri, Nurdin bin Syahjohan, Syahjohan bin Alamsyah, Alamsyah bin Syahlawan, dan Syahlawan bin Syahbuddin. Orang yang bernama Syahbuddin ini kemudian balik ke negeri Tempasuk. “Dia cakap balik kampung. Kami tidak tahu dulu di mana kampung yang dia maksud. Yang jelas di Timur,” kata Long No.
Konsisten Menantang Penjajah
Ketika Tengku Sulung menantang Belanda, setelah Belanda memakzulkan Sultan Riau-Lingga Sultan Abdurrahman Muazam Syah II, orang-orang Melayu Timur inilah dengan kampilan-kampilan mereka berperang melawan Belanda. Mereka sangat mahir bergerilya di padang lumpur dan menyelinap masuk suak-rawang dan meniti melompat-lompat di akar-akar tunjang hutan bakau (mangrove).
Kemahiran serupa dimiliki juga Letnan Boyak, seorang pejuang kemerdekaan keturunan Melayu Timur di Indragiri. Saudara kandung seniman terkenal Idrus Tintin ini dulu juga sangat ditakuti Belanda. Namanya bergaung di mana-mana dan dia bersama pasukannya bisa muncul di mana saja ketika mengejar musuh melintasi hutan rimba Indragiri. Nasibnya kemudian sama dengan Tengku Sulung. Peluru Belanda menembusi tubuhnya. Juga di kawasan pesisir pantai Indragiri Selatan. Di padang lumpur. Hanya tipu-muslihat penjajah dan pengkhianatan sesama anak bangsa - yang gampang termakan umpan - yang mempan menggugurkan mereka.
UU Hamidy, budayawan Riau yang banyak meneliti sejarah dan budaya Melayu - menjuluki, Iranun ini Mujahiddin Nusantara Sejati. Mereka konsisten dan tanpa kompromi melakukan perlawanan terhadap penjajah di bumi nusantara mana saja. Mulai dari Filipina, Malaya, sampai Indonesia. Di Filipina mereka berperang dengan Spanyol. Di Malaysia mereka berperang dengan Inggris, dan di Indonesia mereka berperang melawan Belanda.
Sekarang Melayu yang berasal dari Reteh ini sudah menyebar ke banyak daerah lainnya di pesisir pantai timur. Antaranya Tanjung Jabung, Sabak, Kuala Tungkal dan daerah Jambi lainnya. Sama dengan Bupati Inhil HM Wardan yang punya darah keturunan Melayu Timur, bupati pertama kabupaten pemekaran Tanjung Jabung Timur juga keturunan Melayu Timur. Begitu pula beberapa orang pemimpin daerah itu lainnya.
Air laut semakin surut. Tidak terasa bincang-bincang Tim Pencari Jejak Irnun dengan keturunan Melayu Timur di Kuala Patah Parang sudah memakan waktu. Tekong speed boat tampak mulai kusut. “Air laut sudah jauh surut,” katanya, “Nanti boat kita tersadai di beting laut.”
Tim bersama rombongan lalu bergegas. Meninggalkan percakapan yang belum puas. Ketika pergi pagi harinya ke Pulau Kijang air baru pasang. Ketika pulang air surut sudah meninggalkan tongkat-tongkat sebagian rumah orang-orang di Kuala Patah Parang. Ketika meninggalkan Kuala Patah Parang dan menuju ke Kuala Enok, speed boat pun tidak bisa lagi menyusuri tepian bakau sebagaimana datang waktu pagi harinya. Beting-beting lumpur sudah muncul. Jauh melandai ke tengah laut. Warnanya putih keabu-abuan. Sewarna dengan air lautnya. Hanya bangau-bangau putih yang tengah berjalan-jalan - sedang mencari makan, menangkup anak-anak ikan, yang menandai itu beting.
Speed boat terpaksa mengambil alur jauh ke tengah, Semakin surut air, semakin jauh meninggalkan tepi. Bila salah mengikuti alur di air tepian laut yang keruh ini bisa membuat perahu apa saja tersadai di pantai. Apabila tersadai, maka ber-tapok-lah.. di sana, di tengah-tengah, di antara lautan dan daratan selama menunggu air pasang kembali.
Dari Kuala Patah Parang memang tampak laut lepas. Namun tidak setiap waktu orang-orang di sini boleh bebas. Melaut ke laut lepas. Apatah lagi bila surut timpas.***
Pernah terbit di Riau Pos 27 Dis 2016

Selasa, 3 Januari 2017

KISAH DOKTOR YANG JADI TUKANG MASAK RAJA

Tags
Ada satu peristiwa yang tidak dapat dilupakan oleh Dr Malek Mazid dari Klinik Borneo
Tawau, tokoh yang saya interview beberapa hari lalu untuk ruangan Sembang Sabtu Utusan Borneo.
Saya tidak boleh lupa ketika diminta memasak untuk persidangan majlis raja-raja yang diadakan di Kundasang kira-kira tahun 1984. Waktu itu, Dr Malek Mazid bertugas sebagai doktor perubatan di Hospital Ranau.
"Saya disuruh oleh Datuk Harris  Salleh (kini Tan Sri ) Ketua Menteri Sabah ketika itu untuk menyediakan satu jenis makanan daging kambing dan roti paratha untuk hidangan raja raja yang menghadiri persidangan itu di Hotel Perkasa Kundasang.
Kebetulan masa itu, tiada satu orang yang tahu masakan itu, sehinggakan beliau sendiri diminta untuk memasak".Chef di hotel itu pun tidak tahu sehingga Datuk Harris minta saya buat masakan itu," katanya. Masa itu, Tan Sri Ghani Gilong yang beri saranan.
"Semua bahan masakan tiada. saya terpaksa beli kambing sendiri.Minyak sapi juga tiada di Ranau. saya terpaksa buat sendiri. Akhirnya masakan itu jadi juga, " katanya. Persidangan itu turut dihadiri Perdana Menteri, Datuk Seri Dr Mahathir Mohammad,:Perdana Menteri Malaysia (kini Tun)
" Itu waktu saya rasa sangat takut. Takut kerana masakan saya dihidangkan untuk santapan raja-raja.
"Saya takut masakan tak sedap," katanya. Lebih lebih lagi tidak cukup bahan untuk memasak daging kambing dan membuat roti paratha.
Bagaimanapun, kata Dr Malek Mazid, rasa lega kerana masakannya mendapat pujian. Itu pengalaman yang tak dapat saya lupakan.



Ahad, 1 Januari 2017

SEKETIKA MENGENANG TUN MUSTAPHA

Tags
SEKETIKA MENGENANG TUN MUSTAPHA
Tun Datu Mustapha Datu Harun (31 Julai 1918-2 Januari 1995) pergi meninggalkan kita buat selama-lamanya kira-kira 22 tahun yang lalu. Mantan Yang di-Pertua Negeri Sabah yang pertama dan Ketua Menteri Sabah yang ketiga ini adalah seorang tokoh yang banyak berjasa kepada negeri ini.

“Tun Mustapha adalah Tun Mustapha, tiada orang lain yang menyerupainya,” kata mantan Setiausaha Agung Usno, Datuk Onn Arifin. Perjuangannya untuk melihat Sabah terbangun dengan sejahtera dengan keamanan supaya masa depan generasi lebih cerah lagi, katanya ketika kami bercakap mengenai  perjuangan Allahyarham Tun.

“Saya ingin mengajak semua sahabat, pemimpin negeri dan rakyat agar memanjatkan doa mengikut cara masing-masing untuk memperingati hari ulang tahun pemergian Tun Datu Mustapha ke negeri abadi pada 2 Januari 1995,” katanya. Beliau bercerita mengenai peranan yang pernah dimainkan Tun Mustapha ketika hidupnya.

Adalah menjadi tanggungjawab kita sebagai orang Sabah , dan pemimpin-pemimpin yang pernah bersama dengan Tun dalam perjalanan politiknya agar memperingati detik kematiannya. Ia satu lipatan sejarah yang tidak boleh dilupakan, kata Onn.

Beliau adalah pemimpin yang menyedarkan dan memberitahu kita  betapa nikmatnya kemerdekaan. “Tanpa Tun Mustapha  kita tidak tahu, erti kemerdekaan, katanya, Walaupun kita melihatnya dari pelbagai dimensi, jasanya dalam membangunkan kesedaran rakyat akan erti kebebasan sangat besar ertinya.
Tun adalah orang pertama yang dihubungi almarhum Tunku mengajak beliau untuk menanamkan kesedaran kepada rakyat sabah mengenai apa itu kuasa melalui politik.
“Tun Mustapha adalah Tun Mustapha, tiada orang lain yang serupa dengannya”.
Ketika beliau kembali ke rahmatullah, suasana politik di Sabah ketika itu  bercampur baur. Di satu pihak, UMNO baru saja mengambil alih tampuk kerajaan negeri, di satu pihak lagi, suasana sugul kerana kehilangan tokoh sekaliber Tun Mustapha, kata Onn menceritakan suasana masa itu.
Pemimpin-pemimpin dan rakyat berpusu-pusu menziarahi Allahyarham Tun di hari pengkebumiannya. Pemimpin dari Semenanjung yang datang hanya Tan Sri Sanusi Junid yang menjadi rakan rapatnya.

Baik perjuangan, perwatakan, gaya kepimpinan, Tun Mustapha tak ada duanya. Perjuangannya dalam mengangkat martabat dan harkat rakyat Sabah amat besar, katanya lagi. “Kalau kita tidak apungkan dalam sejarah, orang tak hormat politik Sabah,” katanya. Kita banyak terhutang  budi kepada beliau.

Ketika ditanya, apa antara stail Tun Mustapha, yang diingatinya, Onn berkata, Tun Mustapaha masuk kampung keluar kampung biasanya dengan memakai kot putih. Beliau juga seorang yang teliti dan rapi. “Kita boleh lihat cara dia menandatangani surat, cara dia menulis yang cantik boleh diumpamakan seperti lukisan, “katanya.
Allahyarham Tun juga selalu memanggil orang dengan panggilan yang sopan. Beliau selalu memanggil orang-orang bawahannya dengan panggilan Encik . Beliau selalu membacakan diri saya Encik Onn. Ini menyebabkan orang-prang yang berkhidmat di bawahnya rasa dihargai dan disayangi.
Begitu juga, beliau seorang pemimpin yang suka pada persamaan. Ketika di London, beliau suka membeli belah di Harrod, tetapi kalau ada pemimpin yang menemuinya di sana,   beliau Tun bawa juga ke Harrod. Sama juga dengan soal makanan. Apa yang dia makan, itulah juga yang diberikannya kepada orang lain.

Onn berkata Tun membuka jalan fikiran orang-orang Sabah mengenal erti kemerdekaan. Merdeka dari sebarang bentuk penjajahan. Mana-mana pembangunan dan kemajuan yang kita lihat hari ini, ia pastilah wujud kerana nikmat kemerdekaan. Kemerdekaan yang diperjuangkan oleh Tun Datu Mustapha bersama pemimpin-pemimpin terdahulu. Malah banyak yang boleh diceritakan dalam mengenang jasa dan kebaikan yang pernah dilakukan oleh Tun Mustapha.

Tun Mustapha adalah Tun Mustapha, hingga kini tiada duanya. Al fatihah.




HAJI SALIM, PERNAH BERPERAHU SEMATA-MATA MENIMBA ILMU

Tags



HAJI SALIM, PERNAH BERPERAHU SEMATA-MATA MENIMBA ILMU

BERAKIT-RAKIT ke hulu, berenang-renang ke tepian, mungkin hanya satu pepatah lama. Tetapi inilah yang menjadi pegangan mantan Juru kamera dan wartawan penyiaran RTM, Haji Mohd Salim Haji Ibrahim. Sebagai anak nelayan, beliau terpaksa bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Dalam perjalanan hidupnya, beliau selalu ingat pesan orang tuanya. Walaupun ayahnya bangga bekerja sebagai nelayan, tetapi beliau mahukan anak-anaknya agar  tidak mengikuti jejaknya sebaliknya mencari rezeki dengan cara lain iaitu dengan cara menggunakan pen. Sebagai seorang wartawan berpengalaman, Haji Mohd Salim sudah pasti menyaksikan dan membuat liputan pelbagai peristiwa sejarah tanahair sepanjang bertugas di Radio Televisyen Malaysia (RTM) selama 37 tahun . Beliau menjadi  juru kamera selama 20 tahun dan 17 tahun sebagai pemberita dan wartawan penyiaran sebelum bersara pada tahun 2011.

HAJI MOHD  SALIM HAJI IBRAHIM @ Mohd Salim Haji Jamilun dilahirkan  Pulau Sulug, Kota Kinabalu pada 4 Januari 1953. Beliau mendapat pendidikan awal di Native Voluntary School (NVS) Kulambai Kota Belud dari November 1963 hingga Jun 1966. Kemudian bersekolah dalam darjah lima dan enam di  Government Primary School (GPS) Sembulan dari Jun 1966 hingga Disember 1967. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajaran di SM La Salle pada tahun 1968 sebelum Government Secondary School Kota Kinabalu dari tahun 1969 hingga tamat Form 5 pada tahun 1973. Beliau menduduki STPM sebagai calon persendirian dan kemudian mengikuti pengajian jarak jauh di peringkat universiti. Beliau mula bertugas sebagai jurukamera RTM pada tahun 1974 dan kemudian dilantik sebagai penerbit rancangan pada tahun 1994. Selain bertugas di RTM Sabah pernah juga berkhidmat di Angkasapuri Kuala Lumpur di Bahagian Drama TV, Pegawai Pemantau Siaran di Kementerian Penerangan, Pemberita Radio dan Pemberita TV.  Sebagai ahli fotografi dan pemberita, beliau kebanyakannya bertugas di luar stesen RTM. Beliau mendapat latihan dan kursus kendali kamera (cine camera) daripada tenaga pengajar Institut Penyiaran dan Penerangan Tun Abdul Razak (IPPTAR) Kuala Lumpur. Beliau bersara dari perkhidmatan awam pada tahun 2011.Selepas bersara, kini beliau bergiat sebagai aktiviti sosial dan kebajikan. Beliau adalah Ahli Jawatankuasa Masjid Bandaraya Kota Kinabalu, Timbalan Presiden Alumni SMK Likas. Beliau juga adalah  Timbalan Presiden Wadah Nur Hidayah, sebuah badan NGO dakwah. Haji Salim juga adalah Ketua Penerangan USBO dan Ketua Media (Alumni RTM Sabah). Beliau mendirikan rumahtangga dengan Hajah Lusiah Lingam,  pada 25 Disember 1977 dan dikurniakan lima cahayamata. Anak sulungnya Noor Hafizah lulusan UIA berkhidmat di Mahkamah Tinggi, Anak kedua, Mohd Hisham lulusan UMS bertugas di Kementerian Pendidikan, Anak ketiga, Nurulhanah, lulusan UTM Skudai bertugas di JPM, anak keempat Nurul Haziqah lulusan UMS bertugas di DBP KL dan anak kelima, Norhazirah, lulusan UIA, kini menyambung pengajian di peringkat sarjana di UMS.

Wartawan UTUSAN BORNEO, ABD.NADDIN HAJI SHAIDDIN berpeluang menemubual Haji Salim Haji Ibrahim di salah sebuah premis di kawasan Masjid Bandaraya Kota Kinabalu kelmarin. Dalam temubual itu beliau menyingkap sedikit kisah hidupnya sebagai anak nelayan serta anak sulung dari sembilan adik beradik. Ikuti petikan temubual bersama beliau:

UTUSAN BORNEO (UB) : Terima kasih kerana sudi ditemubual untuk ruangan Sembang Sabtu Utusan Borneo. Saya tertarik dengan kisah hidup tuan haji sebagai anak nelayan tetapi bersemangat gigih untuk menimba ilmu, sanggup berpisah dengan keluarga pada usia yang relatif kecil dan sanggup berkorban demi memastikan kejayaan adik beradik dalam pendidikan. Bolehkah tuan haji melukiskan suasana pada masa itu?

HAJI SALIM HAJI IBRAHIM:   Saban waktu setiap hari bekerja sekumpulan anak anak nelayan dari Pulau Usukan Kota Belud mula bangun awal subuh sebaik ayam berkokok. Bersiap siap turun rumah ke tepi pantai untuk menaiki beberapa perahu lalu mengayuh menuju Kampung Kuala Abai yang mengambil masa lebih 30 minit dayungan untuk sampai ke destinasi dituju. Setiba di Jeti Kampung Kuala Abai perahu perahu ditambat baik baik agar tidak hanyut dibawa deras arus sungai dan ombak di kuala sungai berkenaan. Dari situ mula berjalan kaki menuju ke Native Voluntary School (NVS) Kulambai Kota Belud semata mata untuk belajar menulis, membaca dan mengira.
Itu pesanan arwah ayah dan ibu yang mahu anak mereka merintis jalan menerokai ilmu akademik secara formal di bangku sekolah. Proses memanfaatkan peluang itu bermula November 1963 tidak lama selepas Sabah turut menjayakan misi menubuhkan Malaysia. Bersekolah di sebuah bangunan papan bercat hitam peninggalan era pemerintahan British sehingga Jun 1966.

UB: Sungguh nostalgik ya? Tentu banyak cabaran. Ceritakan sedikit tuan haji?
HAJI SALIM:  Cukup nostalgik dan menyayukan jika diimbau kembali perit jerih menuntut ilmu zaman dahulu yang kekadang terpaksa bertarung dengan risiko karam di laut dan sungai dalam keadaan perut kosong. Pelbagai cabaran dan kesukaran perlu diharungi dan digagahi untuk mengatasinya. Sudahlah jauh dari ibu bapa dan adik beradik lain yang ketika itu masih menetap di Pulau Manukan Kota Kinabalu. Ini pulak dihantar jauh untuk tempoh lama menyertai anak anak kaum keluarga yang sudah dulu mendekati institusi keilmuan.

UB: Berapa usia tuan haji ketika itu?
HAJI SALIM: Sepuluh tahun. Dalam usia sepuluh tahun itu, saya sudah  mengembara di perantauan di tempat orang yang tentu sarat dengan rasa dipinggirkan, terbuang, diabaikan dan macam macam andaian. Jauh hati disulami perasaan sedih. Wal hal bukan begitu hakikatnya. Orang tua mahu anak anak berpendidikan. Di tempat sendiri belum ada sekolah terpaksalah berkelana mengejar ilmu. Pada mulanya hampir setiap hari bertemankan genangan air mata rindu kampung halaman dan hiruk pikuk adik beradik di rumah sendiri. Bagaimanapun hati terhibur apabila ke sekolah ketemu ramai kawan kawan sebaya. Teman taulan yang latar belakang kehidupan keluarga lebih kurang sama saja. Tidak banyak perbezaan. Selain itu faktor masa juga merawat emosi. Lama kelamaan perasaan ingin pulang semakin berkurangan. Bolehlah memberi tumpuan kepada aktiviti sekolah dan mentelaah ilmu sewajarnya.

UB: Bagaimana suasana persekolahan masa itu? Ada bekal ke sekolah?
HAJI SALIM: Waktu itu sesuatu yang tidak menghairankan ramai dalam kalangan murid murid ke sekolah berkaki ayam dengan berbekalkan poket kosong. Iyaaaa.. anak anak sekolah majoritinya datang dari keluarga serba kekurangan. Dulu memang sedikit keluarga hidup sederhana malah lebih ramai yang tidak berkemampuan. Hambatan kemiskinan dan keperitan hidup sinonim dengan masyarakat waktu itu. Ada yang pergi sekolah dengan hanya memakai baju dalam (singlet). Wang saku tidak menjadi kemestian.

UB: Jadi, tidak beli makanan di sekolah?
HAJI SALIM Lumrah, biasa tidak membeli makanan waktu rehat. Jika ada pun sekadar 20 sen dan 30 sen. Mujur kuih pisang besar dan kuih ubi kayu yang mengenyangkan hanya 5 sen sebiji dan 10 sen kopi '0' di kedai Iyang Ansing (arwah Derasim Sibul) teman sepersekolahan. Itu pun kekadang dikongsi dengan teman sekolah yang juga kelaparan. Seandainya tidak ada apa apa buat membeli makanan terpaksalah ikut gaya dan ajakan murid murid senior minum air telaga, baling mangga muda dan memetik buah jagus sepanjang perjalanan untuk mengalas perut.
UB: Jalan kaki dari rumah? Berapa jauhnya  rumah dari sekolah?

HAJI SALIM: Kami berjalan kaki menyusuri tepi jalan tanah merah lebih 3 batu dari Kampung Kulambai ke Kuala Abai. Perjalanan itu sangat mengesankan untuk menghargai keselesaan akibat kemudahan dan prasarana masa kini. Jauh beza dulu dengan sekarang. Bukan saja dari aspek infrastruktur malah hingga kepada bab bab jenis makanan.

UB: Anak-anak zaman dulu lebih gigih ya. Maksudnya lebih tabah berbanding anak-anak sekarang. Apa pendapat tuan haji?
HAJI SALIM: Anak anak zaman dahulu mempunyai survival skill yang cukup tinggi. Mungkin pengamatan meleset dan agak berat sebelah. Tetapi itulah hakikatnya yang dirasa dan lalui. Setiap cuti sekolah anak anak diajak orang tua untuk ikut serta menangkap ikan di lautan lepas. Pelbagai kaedah nelayan ditunjuk ajar. Menyelam, memancing, tarik pukat udang yang sungguh berat, merantau, mencandat sotong dan banyak lagi. Selok belok hidup sebagai nelayan dipahat dalam minda.

UB: Mungkin ada peristiwa yang tak dapat dilupakan?
HAJI SALIM: Ketika dalam darjah enam pada tahun 1967 ibu kami dipanggil Ilahi. Arwah meninggalkan kami sembilan adik beradik semasa masih dalam pantang selepas melahirkan adik bongsu Mohd. Saidi. Pemergiannya sangat dirasai pada waktu adik adik masih kecil belaka, saat memerlukan bimbingan dan kasih sayang daripada seorang ibu. Kakak sulung arwah Hajah Jamilah lah tempat menyandar harapan kasih sayang adik beradik. Arwah kakak saja yang berumah tangga ketika itu. Seorang lagi kakak arwah Hajah Joyah masih bujang turut membantu mengasuh, mendidik dan membesarkan adik adik yang perlu diberi perhatian. Arwah ayah perlu disokong untuk menjaga adik adik dengan semaian kemesraan, cinta sayang menyayang adik beradik.

UB: Tuan haji masih ingat kawan-kawan di NVS Kulambai. Siapa yang tuan haji masih ingat?
HAJI SALIM: Antaranya Jungki, arwah Katung, P. Ramlee maulana, Ayangan, Haji Arasad haji Ukuk, Lairin Haji Kimsik, Seruji Durasim, Maimah, arwah Kanchi Musli, Kassim, arwah Derasim Sibul, Majikan, Shawal dan lain-lain lagi.

UB: Selepas itu, tuan haji sekolah dimana?
HAJI SALIM: Saya bersekolah dalam darjah lima dan enam Government Primary School (GPS) Sembulan dari Jun 1966 hingga Disember 1967. Antara rakan saya di GPS Sembuilan  ialah Datuk Hajah Rusimah Haji Zakaria, Haris Awang Tahir, Dayangku Asmah Tun Haji Ahmad Raffae, Arwah Alias Nasip, Hajah Halimah Sirun, Roslee Sirun, Rusminah Sirun, Latiff Ahmad, Majid Manan, Arwah Dumin Haji Ahmad, Idris Zakaria, Arwah  Hajah Halimah Haji Yusuff.
Selepas itu, pada tahun 1968 , ditawarkan belajar di SM La Salle Tanjung Aru dalam kelas peralihan (Bridge Class) selepas lulus peperiksaan darjah di GPS Sembulan. Namun tidak lama di La Salle hanya setahun. Pihak sekolah berkenaan mengarahkan beberapa pelajar pindah ke sekolah lain.

UB: Dimana tuan haji berpindah?
HAJI SALIM: Mujur kami  dapat tempat di Government Secondary School Kota Kinabalu (menumpang bangunan Maktab Sabah) pada tahun 1969. Arahan itu dikuatkuasa serta merta berikutan ramai pelajar lepasan Primary Six dari Sacred Heart Sembulan ditempatkan ke SM La Salle untuk sambung ke form one. Saya bersekolah di GSS Kota Kinabalu hingga tamat Form 5 pada tahun  1973.
UB: Mungkin tuan haji masih ingat rakan sekolah. Siapa di antaranya?
HAJI SALIM: Kawan di GSS Kota Kinabalu antatanya Ibrahim Haji Naitullah, Sakmat Tajudin, Raimah Mohd Suh, Juriah Pelasin, Datuk Dahali Matsin, Haji Maddilli Yusuff, Haji Kadir Aben, Jaya Rabika, Tadius Yusuff, Flora, Rusiah Haji Naitullah, Fatmah Abd Rahman, Fatimah Haji Ali Ahmad.

UB: Selepas tamat sekolah menengah, di mana tuan haji bekerja?
HAJI SALIM: Selepas menamatkan sekolah menengah mendapat tawaran jawatan jurukamera di RTM Sabah pada 7.6.1974. Berperanan sebagai jurukamera berita, dokumentari, drama, hiburan dan lain-lain untuk tempoh lebih dua puluh tahun.

UB: Lepas itu?
HAJI SALIM:  Pada 8.12.1994, saya  mula diberi tanggungjawab lain sebagai penerbit rancangan (wartawan penyiaran) sehingga pencen 2011.

UB: Selain RTM Sabah, dimana tuan haji pernah bertugas?
HAJI SALIM: Selain bertugas di RTM Sabah pernah juga berkhidmat di Angkasapuri Kuala Lumpur di Bahagian Drama TV, Pegawai Pemantau Siaran di Kementerian Penerangan, Pemberita Radio dan Pemberita TV.

UB: Agaknya apa perasaan tuan haji ketika mula-mula dapat tawaran kerja di RTM?
HAJI SALIM: Waktu dapat surat tawaran kerja pertengahan 1974 sangatlah gembira. Biasalah orang yang memerlukan pekerjaan untuk bantu meringankan beban orang tua. Dapat pulak profesion ahli fotografi (tukang gambar) jawatan yang diidamkan sejak zaman sekolah. Hobi dalam bidang fotografi sehingga kini masih bersinar dalam kehidupan harian.
UB: Dimana tuan haji dapat latihan?
HAJI SALIM Saya mendapat latihan dan kursus kendali kamera (cine camera) daripada tenaga pengajar Institut Penyiaran dan Penerangan Tun Abdul Razak (IPPTAR) Kuala Lumpur. Sebagai ahli fotografi dan pemberita kebanyakannya bertugas di luar stesen RTM.
UB: Apa tugas pertama tuan haji sewaktu di RTM? Dimana tuan haji buat liputan kali pertama?
HAJI SALIM: Tugas pertama di luar daerah, membuat liputan lawatan Yang Dipertua Negeri Sabah ,waktu itu Tun Mohd. Fuad Stephens yang merasmikan masjid di Sindumin Sipitang Julai 1974.
UB: Tentu banyak lagi pengalaman menarik. Tapi mungkin tuan haji boleh ingat bila bertama kali naik kapal terbang untuk bertugas?
HAJI SALIM: Kali  pertama kali, saya menaiki pesawat Fokker pada 30 Ogos 1974 untuk membuat liputan sambutan Hari Merdeka di Sandakan yang dilancarkan Menteri Kewangan Datuk Habib Abdul Rahman.
UB: Apa yang menarik dalam tugas sebagai jurukamera dan wartawan?
HAJI SALIM: Bertugas sebagai jurukamera dan wartawan ramai kenalan sama ada orang kebanyakan hinggalah kepada pembesar pembesar. Selain itu, saya berpeluang juga menaiki pelbagai jenis pengangkutan darat, laut dan udara termasuk jet jet tertentu untuk kegunaan pembesar negara. Selain membuat liputan domestik golongan berkenaan juga turut ditugaskan ke luar negara.

UB:  Ketika masih kecil, apa cita-cita tuan haji? Pernah terfikir kerja di RTM?
HAJI SALIM: Masa kecil dulu, memang suka jadi tukang gambar. Tapi saya tidak terfikir kerja di RTM.


UB: Apa negara yang pernah dilawati ?
HAJI SALIM: Antara negara luar yang pernah dikunjungi  ialah Negara Brunei Darussalam, Indonesia,Filipina, Australia, Amerika, England, Scotland, Jerman, Itali, Perancis,Thailand, Singapura, Jepun. Saya juga pernah melawat   Palestin dan Jordan, China dan Vietnam

UB: Siapa rakan-rakan seangkatan sewaktu di RTM?
HAJI SALIM: Antaranya Datuk Jumat Engson, Haji Othman Abd Hamid, Haji Jamir Haji Marman, David Foo, Lee Yen Phin, Doreen Lim, Jane Lim, Sylvester Lee, Winnie Lingam, Datuk Abdullah Hussin, Kusin Haji Diasin, Chong Ken Yin dan ramai lagi.
UB: Apa pesanan arwah ayah yang masih tuan haji ingat?
HAJI SALIM: Pesan arwah ayah, hidup sebagai nelayan banyak keistimewaannya. Membantu orang untuk dapatkan makanan.Kita cepat perolehi pulangan.Jual tangkapan dapat hasil. Tapi, katanya, biarlah anak-anak cari rezeki dengan cara lain, iaitu cara guna Pen.

UB: Kerjaya tuan haji tentu memberi inspirasi kepada keluarga. Pendapat tuan haji ?
HAJI SALIM: Bagi saya, bertugas sebagai anggota perkhidmatan awam banyak mempengaruhi sanak saudara dan adik adik untuk tekun belajar di sekolah. Ilmu akademik yang diperoleh dimanfaatkan untuk memohon jawatan yang bersesuaian dengan kelayakan. Berpegang dan menepati pepatah bersakit sakit dahulu bersenang senang kemudian.

UB: Oh ya, apa motto dalam hidup haji?
HAJI SALIM:  Usaha untuk berjaya. Dan selalu bersangka baik.