Selasa, 24 November 2020

PROF DR IR ARI PURBAYANTO, BANYAK PENGALAMAN MANIS DI MALAYSIA

Tags

 PROF DR IR ARI PURBAYANTO, BANYAK PENGALAMAN MANIS DI MALAYSIA

 Di kalangan masyarakat akademisi di Indonesia, nama Prof Dr Ir H Ari Purbayanto memang cukup terkenal. Beliau adalah Ketua Asosiasi Profesor Indonesia (API). Prestasi dalam bidang akademik juga bukan calang-calang. Beliau adalah Guru Besar Fakulti Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) salah sebuah universiti terbaik di Asia Tenggara. Tetapi peranannya sebagai Atase  Pendidikan dan Kebudayaan (Education and Culture Counselor) di Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur dari tahun 2014 hingga 2019, amat signifikan dalam usaha memastikan tiada anak  anak warga Indonesia yang tercicir dalam menikmati pendidikan meskipun mereka tinggal di tempat-tempat yang jauh di pelosok jauh di pedalaman.

 



Prof.Dr.Ir. H. Ari Purbayanto, M.Sc.dilahirkan di Kotagajah, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Metro, Provinsi Bandar Lampung,Sumatera Selatan pada 21 Januari 1966.  Anak pertama dari 3 bersaudara ini mendapat pendidikan awal di SD Negeri Seputih Raman Lampung sebelum pindah ke SD Negeri Mepanga di Sulawesi Tengah dan hingga tingkatan kelas 5, kemudian pindah lagi ke SD Negeri Inpres Sioyong di wilayah lain Kabupaten  Donggala hingga tamat SD.  Selanjutnya  beliau bersekolahn di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kota Palu (ibukota Sulawesi Tengah)  dan seterusnya  Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Palu selama 3 tahun dan tamat pada tahun 1984. Selepas menamatkan SMA dengan predikat cemerlang, beliau diterima memasuki Institut Pertanian Bogor, diawali dengan  program matrikulasi dan kemudian memilih jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB. Sebaik lulus dari IPB pada September 1989, beliau terus dilantik sebagai pensyarah di Fakulti Perikanan IPB. Empat tahun kemudian, beliau memperolehi biasiswa Monbusho dari Kementerian Pendidikan Jepun untuk melanjutkan kuliah  MA dan PhD di Tokyo University of Fisheries hingga lulus pada Mac 2000.

Sekembalinya dari Tokyo, Prof Ari berkhidmat sebagai salah seorang profesor  (Guru Besar) di Fakulti Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Kemudian beliau ditugaskan sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Education and Culture Counselor) di Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur dari tahun 2014 hingga 2019. Di akhir masa penugasannya, beliau dianugerahi Hassan Wirajudha Perlindungan WNI Awards oleh Menteri Luar Negeri RI pada 8 Disember 2018 atas kejayaan membangun  CLC dan memfasilitasi akses pendidikan anak-anak Indonesia di Sabah, Sarawak serta Semenanjung.

 Kini beliau kembali ke IPB sebagai  Profesor (Guru Besar) di Fakulti Perikanan dan Ilmu Kelautan. Tim Ahli di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Asesor (Penilai)  Badan Akreditasi Perguruan Tinggi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta aktif  sebagai Ketua Asosiasi Profesor Indonesia (API).





 


 Beliau mendirikan rumah tangga dengan Dra Hajjah Rochmawati  dan dikurniai tiga cahaya mata iaitu M Abiyyu Kenichi Purbayanto (lulus Bsc in Physics dari ITB Bandung, kini menuntut di Warsaw University of Technology Poland, M Anindya Hiroshi Purbayanto (baru lulus Bachelor Management dari ITB Bandung) dan Farah Tri  Sadina Purbayanto (mahasiswi fakulti Kedoktoran (Perubatan) Universiti Airlangga, Surabaya.

 

Wartawan kanan UTUSAN BORNEO, ABD NADDIN HAJI SHAIDDIN  menghantar draf pertanyaan kepada  Prof Ari melalui aplikasi WhatsApp dan mendapat jawapan melalui surat elektronik. Ikuti petikan temubual bersama beliau:

 UB: Boleh ceritakan sedikit latar belakang prof? Tarikh dan tempat lahir? Anak keberapa dalam keluarga?

 PROF ARI: Saya dilahirkan di sebuah kota kecil bernama Kotagajah, Kecamatan (sub-district) Seputih Raman, Kabupaten (district) Metro, Provinsi Bandar Lampung, Pulau Sumatera pada 21 Januari 1966.  Saya anak pertama dari 3 bersaudara.  Orang tua Ayah saya, Haji Katiman Purnomo Wardoyo berasal dari Wonogiri dan Ibu saya  Hajah Niniek Suparni dar Klaten, keduanya dari Jawa Tengah.  Kerana itu saya diberi nama Ari Purbayanto (ciri khas nama Jawa), nama "Ari" karena lahir di bulan Januari dan "Purbayanto" diambil dari nama lain "Gatotkaca" yaitu "Purubaya"  seorang Tokoh Pewayangan Mahabarata yang memiliki karakter seorang pemimpin hebat yang melindungi kaum lemah.

 UB: Dimana prof mendapat pendidikan awal?

 PROF ARI: Mengawali pendidikan Tadika (Taman Kanak-kanak) dan Sekolah Dasar (Sekolah Rendah) di Seputih Raman, masuk Tadika tahun 1970, kemudian masuk Sekolah Dasar (SD) di usia 5 tahun (1971), kemudian pada tahun 1974 mengikuti Ayah yang berpindah yang bekerja sebagai Pegawai Pemerintah pada Departemen Transmigrasi ke Sulawesi Tengah.  Ibu saya seorang perawat kesihatan yang juga pegawai pemerintah mengundurkan diri dari tugasnya karena mengikuti perpindahan ke Sulawesi Tengah. 

 UB: Selepas kita, dimana prof meneruskan kuliah?

 PROF ARI:  Pada masa itu, Pemerintahan Soeharto sedang menggalakkan Program Transmigrasi (pemindahan penduduk dari pulau-pulau padat ke pulau yang masih jarang penduduknya), salah satunya Sulawesi Tengah. Ayah di Sulawesi Tengah membina kelompok masyarakat transmigrasi dari Jawa, Bali di pelosok kampung Sulawesi Tengah, dan berpindah-pindah lokasi, sehingga kami semua ikut berpindah.  Saat itu saya masih duduk di tingkatan kelas 4 SD di SD Negeri Seputih Raman Lampung, pindah ke SD Negeri Mepanga dan hingga tingkatan kelas 5, kemudian pindah lagi ke SD Negeri Inpres Sioyong di wilayah lain Kabupaten (district) Donggala hingga tamat SD.  Selanjutnya saya bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kota Palu (ibukota Sulawesi Tengah) hingga tamat 4 tahun dan lanjut ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Palu selama 3 tahun dan tamat pada tahun 1984.

 UB: Sebaik tamat SMA, dimana prof kuliah selepas itu? Dalam jurusan apa?

PROF ARI: Tamat pendidikan SMA sebagai siswa dengan predikat cemerlang (lulusan terbaik) sehingga diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan bagi siswa berprestasi.  Memulai pendidikan di IPB Bogor pada Jun 1984 diawali dengan program matrikulasi (foundation), dalam bidang ilmu/jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan IPB.  Saya lulus dari IPB pada bulan September 1989, kemudian langsung diangkat menjadi dosen (pensyarah) di IPB oleh pemerintah.  Sejak Februari 1990 saya rasmi menjadi pensyarah muda di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan IPB.  Setelah 4 (empat) tahun mengabdi sebagai dosen muda, tahun 1993 saya memperoleh biasiswa Monbusho (Kementerian Pendidikan Jepun) untuk melanjutkan studi Master dan Doktor di Tokyo University of Fisheries, Jepun.  Diawali mengikuti kursus Bahasa Jepun di Bogor dan pengetahuan tentang kebudayaan Jepun selama 4 bulan, selanjutnya pada 5 April 1994 saya berangkat ke Tokyo Jepun.  Sampai Tokyo, harus belajar Bahasa Jepun lagi di Tokyo Institute of Technology selama 6 bulan.  Selanjutnya masuk di Tokyo University of Fisheries pada akhir 1994  diawali dengan Research Student selama 6 bulan hingga Mac 1995.  Pada April 1995 saya diterima melanjutkan pendidikan program master di department of Marine Science and Technology, Laboratory of Fish Behaviour Dynamic.  Lulus Master of Science (M.Sc.) pada Mac 1997, kemudian diterima lanjut program Ph.D. pada departemen yang sama di universiti yang sama hingga tamat Ph.D pada Mac tahun 2000. 

 UB: Prof tinggal lama di Tokyo? Bawa keluarga?

PROF ARI: . Selama menuntut ilmu di Tokyo Jepun saya membawa serta istri, yang datang menyusul ke Tokyo pada bulan Mei tahun 1995.  Tinggal di Tokyo selama 6 tahun (1994-2000), kami dikurniai 2 putra (laki-laki). Putra pertama lahir di Tokyo pada bulan Disember tahun 1995 dan anak ke-2 lahir di bulan Oktober 1999.  

 Setelah tamat Ph.D, kami sekeluarga pada akhir bulan March tahun 2000 kembali ke Indonesia, dan melanjutkan pengabdian sebagai dosen (pensyarah) di IPB Bogor.  Saya ditunjuk menjadi Koordinator Kerjasama IPB dengan Jepun under framework JSPS Core University Program in Fisheries Science khususnya untuk bidang Fishing Technology.  Karena itu setelah kembali ke Indonesia, saya setiap tahun hingga tahun 2005 ulang-alik ke Jepun setahun 2-3 kali untuk melakukan penyelidikan bersama, seminar dan kerjasama pendidikan antara IPB dan beberapa universiti di Jepun dengan host universiti yaitu Tokyo University of Fisheries (sejak tahun 2013 berubah nama menjadi Tokyo University of Marine Science and Technology).  Dari hasil kerjasama dengan Jepun, banyak publikasi internasional dan kerja penerapan teknologi perikanan laut yang kami implementasikan di Indonesia.  Selama menjadi karyasiswa Monbusho di Jepang saya aktif dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Jepang.  Berbagai aktiviti saya lakukan termasuk aktiviti promosi kebudayaan Indonesia di Jepang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo.  Saya menjadi pengerusi PPI Jepang di masa itu.

 UB: Mungkin boleh ceritakan sedikit pengalaman kerja? Dimana mula kerja?

 PROF ARI: Saya terus bekerja sebagai pensyarah (dosen) di IPB sejak 1990 hingga saat ini.  Tetapi kerja sebagai pensyarah di Indonesia memiliki 3 kewajiban yang disebut dengan Tridharma perguruan tinggi, iaitu pendidikan dan pengajaran (maknanya wajib mengajar dan mendidik mahasiswa melalui perkuliahan, pembimbingan, dan pendampingan hingga mahasiswa lulus). Dharma kedua, Penelitian (maknanya wajib melakukan riset program/aktiviti, seminar, dan mempublikasikan hasil riset di scientific journal atau media lainnya). Dan dharma ketiga, pengabdian kepada masyarakat (community services, maknanya hasil-hasil riset, atau temuan wajib diterapkan dan digunakan oleh masyarakat  luas).  Kerana itu saya memiliki jaringan yang luas (networking) dengan swasta/industri maupun pemerintah sebagai tenaga ahli/pakar di bidang perikanan laut.

 Setelah mendapatkan kesempatan pergi haji pada tahun 2005/2006, saya mencapai jabatan (peringkat) tertinggi seorang pensyarah sebagai Guru Besar (Professor) di usia 40 tahun pada bulan Juni 2007 pada bidang Fishing Technology.  Sebelum akhirnya mendapat penugasan sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, jawatan saya  di IPB sebagai Sekretaris Dewan Guru Besar (Secretary for Board of Professor) 2012-2014, juga Ketua Satuan Tugas (Taskforce Chair) for Sekretariat Bersama 7 Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum di Indonesia (2009-2014). Penugasan di Malaysia adalah penugasan dari Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.





 UB: Mungkin prof boleh ceritakan pengalaman pahit manis sepanjang bertugas di Malaysia?

 

 PROF ARI:  Pengalaman pahit sebenarnya hampir tidak dijumpai, tetapi sesungguhnya ada iaitu sedih ketika melihat banyaknya warga Indonesia di Malaysia yang berurusan dengan hukum kerana bekerja illegal/tidak rasmi. Ini bukan pula sepenuhnya salah mereka, tetapi salah juga majikan  Malaysia yang mempekerjakan mereka. Pengalaman pahit kerana ternyata masih banyak orang Malaysia yang belum banyak tahu tentang Indonesia, mereka mencibir/mengolok-olok bahwa Indonesia  negara yang masih tertinggal, belum maju, negara miskin, bahkan ada yang bertanya apa banyak mobil/kereta di Indonesia?  Sempat terkejut juga ketika mereka menyapa dengan sebutan "Indon" meskipun mungkin itu maksudnya baik, tetapi karena masih banyak orang Malaysia yang sebenarnya tidak tahu tentang Indonesia, sebutan tersebut seolah merendahkan atau mengejek.  Indon bisa diertikan "In-Down" dalam kondisi terbelakang, meskipun mungkin tidak begitu maksudnya.  Saya juga sangat sedih ketika mengetahui banyaknya anak-anak Indonesia usia sekolah (7-15 tahun) mereka tidak bersekolah, kerana mereka lahir di Malaysia tanpa dilengkapi dengan dokumen kelahiran yang sah, begitu pula orangtuanya yang hanya sebagai pekerja non-formal/buruh migran, tidak mendapatkan akses pendidikan bagi anak-anak mereka di Sekolah Malaysia. 

 



UB: Mungkin boleh cerita pengalaman manis?

 


PROF ARI: Pengalaman manis, begitu banyak kerana saya menjumpai teman-teman baik dari Malaysia yang memberikan bantuan dan sokongan selama saya bertugas (2014-2019) sehingga sukses.  Kerana saya seorang profesor, sejak di Indonesia saya telah memiliki ikatan/hubungan persahabatan yang erat secara peribadi dan rasmi dengan Majlis Profesor Negara (MPN) Malaysia di Jabatan Perdana Menteri Malaysia kala itu. Kami memiliki forum Ikatan Profesor Indonesia-Malaysia (IPIMA), pada saat itu di pihak Indonesia dikoordinasikan oleh Asosiasi Profesor Indonesia (API) dan saya saat itu pengerusi API (bulan Mei 2020 lalu saya menjadi Ketua API, menggantikan Prof.Dr.Ir. M. Yusram Massijaya, MS yang wafat karena Covid-19).  Tidak hanya teman-teman baik profesor Malaysia di MPN, teman-teman baik lainnya banyak menjadi sahabat yang baik selama saya bertugas, termasuk dari Kementerian Pendidikan Malaysia Tuan Abdul Halim (mantan Direktur Pendidikan di kementerian Pendidikan Malaysia yang telah banyak membantu perizinan CLC) di Sabah Tuan Haji Abdul Wahab Ampuan Hamzah,di Sarawak Tuan Haji Ismail, di Kementerian Pendidikan Tinggi  Prof Ujang di EMGS Malaysia Encik Yazid, dan masih banyak lagi. 






 UB:Sebagai seorang yang komited dalam bidang pendidikan anak anak Indonesia di Sabah, mungkin ada pengalaman yang tidak dapat dilupakan?

 PROF ARI: Pengalaman yang tidak bisa/sulit dilupakan adalah kejayaan membuka layanan pendidikan bagi anak-anak Indonesia melalui pendirian Community Learning Center (CLC) baru di wilayah Sabah, Sarawak dan juga Semenanjung Malaysia.  Untuk wilayah Negeri Sabah hampir tidak ada hambatan karena Kerajaan Negeri memberikan sokongan atas pendirian CLC bagi anak-anak Indonesia di ladang-ladang sawit milik persyarikatan, kecuali untuk CLC  non-ladang  yang perlu pendekatan dengan masyarakat dan pemerintah negeri.  Upaya pendirian CLC di wilayah Sarawak sudah saya lakukan bersama Konjen RI Kuching sejak tahun 2015, dan baru berhasil mendapatkan persetujuan Kerajaan Negeri Sarawak dengan dukungan Kerajaan Pusat di Putrajaya melalui Kementerian Pendidikan dan juga dukungan syarikat pada tahun 2017.  Ini juga berkat dukungan penuh dari Duta Besar Rusdi Kirana, seorang duta besar yang luar biasa kerana turun langsung ke lapangan secara rutin bersama kami menerobos ladang-ladang sawit yang jauh, membuka dan merasmikan CLC baru.

Sejak itu hingga akhir masa tugas Desember 2018, lebih dari 50 CLC  didirikan dan melayani pendidikan dasar bagi anak-anak Indonesia di Sarawak.  Bahkan Presiden Joko Widodo sempat hadir di Sarawak dan bertemu dengan anak-anak Indonesia yang belajar di CLC Sarawak pada November 2018.  Keberhasilan ini juga didukung keseriusan Pemerintah Indonesia di Jakarta yang mengirimkan guru-guru profesional (ekspatriat) dari Indonesia, sebanyak 300 lebih guru Indonesia mengajar di CLC Sabah, Sarawak dan Semenanjung, dengan masa penugasan 2 tahun. 

 Selesai masa penugasan 2 tahun, didatangkan guru-guru profesional yang baru.  Melihat keberhasilan anak-anak Indonesia mencapai prestasi yang gemilang, bisa lanjut pendidikan di Indonesia dan diterima melanjutkan di universitas terbaik di Indonesia adalah sebuah kenangan indah sekaligus kebanggaan yang akan terus dikenang.  Bahkan anak-anak yang belajar di CLC mereka  mampu bersaing meraih cita-citanya menjadi manusia yang nasibnya lebih baik dari orang tuanya, ada yang sudah menjadi pilot (penerbang) dan lulus dari perguruan tinggi terbaik di Indonesia, dan beberapa diantaranya calon diplomat.

 

UB: Menurut prof, apa cabaran  yang dihadapi dalam mewujudkan CLC dan sekolah indonesia di sabah?

 PROF ARI:  Cabaran yang dihadapi dalam mewujudkan CLC dan Sekolah Indonesia di Sabah adalah meyakinkan Kerajaan Pusat dan Kerajaan Negeri Sabah bahwa keberadaan CLC dan Sekolah Indonesia di Sabah  tidak akan merugikan kerajaan  dan masyarakat Malaysia, khususnya Sabah, tetapi sebaliknya memberikan manfaat kebaikan bagi Malaysia dan juga Indonesia.  Kerana dengan mereka (anak-anak Indonesia)  bersekolah mereka akan mudah dikontrol dan diketahui keberadaannya oleh pemerintah kerjaan/negeri. Selain itu orang tuanya sebagai pekerja di ladang sawit akan lebih produktif kerana tidak khawatir lagi akan pendidikan anak-anak mereka.  Keberadaan Sekolah Indonesia dan CLC justru akan mempererat kerjasama Indonesia dan Malaysia di bidang pendidikan dasar dan menengah, kebudayaan, dan ekonomi.



 Alhamdulilah cabaran ini dapat dijalani dengan baik, kerana para pegawai Malaysia yang juga berdarah Melayu (jiran serumpun) sangat bersahabat dan penuh rasa kekeluargaan memberikan sokongan dan bantuan bagi terselenggaranya pendidikan anak-anak Indonesia di CLC maupun Sekolah Indonesia.

 Intinya kami terus menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan Kerajaan Pusat dan Kerajaan Negeri Sabah.  Sebanyak 300 lebih guru profesional kami tempatkan di Malaysia dengan gaji RM6,000 per bulan dari pemerintah Indonesia, dan mereka hidup di Malaysia dengan gaji itu, lebih dari 50% wang berkenaan dibelanjakan di Malaysia. Seluruh pembiayaan pendidikan (lebih dari 90%) bagi anak-anak Indonesia di Malaysia adalah atas biaya pemerintah Indonesia.  Jumlah rupiah yang dibelanjakan di Sabah oleh orang-orang Indonesia juga memberikan kontribusi ekonomi.

 UB: Ditengah keterbatasan ibu bapa yang kebanyakan pekerja ladang menyekolahkan anak mereka, apa nasihat prof kepada ibu bapa dan anak anak?

 PROF ARY: Nasihat kepada para orang tua anak-anak Indonesia yang hidup dalam keterbatasan adalah,  Orang tua harus terus mendorong dan memotivasi anak-anak mereka untuk bersekolah karena sekolah tersebut "gratis" atau tidak berbayar (SIKK maupun CLC). Bahkan pemerintah menyediakan biasiswa bagi anak-anak yang berprestasi untuk melanjutkan pendidikan di Indonesia.  Mereka harus terus belajar sehingga nasib kehidupannya di masa mendatang akan lebih baik dari orang tuanya.

 UB;Dimana prof berkhidmat sekembalinya ke jakarta?

 PROF ARI: Sekembalinya bertugas dari Malaysia, saya berkhidmat di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai salah seorang Profesor (Guru Besar) di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Saya pun diminta pemerintah menjadi Tim Ahli di Kementeriaan Kelautan dan Perikanan, dan sebagai Asesor Badan Akreditasi Perguruan Tinggi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta aktif di organisasi profesi, sebagai Ketua Asosiasi Profesor Indonesia (API).